Jumat, 21 Maret 2008

Bintang Yang Super Cepat Ternyata Bukan Anggota Bima Sakti

Bintang deret utama kelas B umumnya langka dijumpai berada jauh dari bidang Galaksi. Bintang-bintang ini diyakini sebagai “bintang pelarian” yang terlontar dari bidang Galaksi usai terbentuk. Bintang B yang kecepatannya melampaui kecepatan-lepas Galaksi belum pernah dijumpai, hingga pada tahun 2005 dilaporkan bintang dengan kecepatan yang sangat tinggi (hyper velocity star atau HVS), yakni bintang SDSS J090745.0+024507. Bintang HVS pertama ini oleh penemunya, Brown, diperkirakan terlempar dari pusat Galaksi Bima Sakti, galaksi yang kita huni.Bintang HVS kedua adalah HE 0437-5439 yang dilaporkan oleh Edelmann dan kawan-kawan pada tahun yang sama. Meskipun demikian, fenomena HVS ini masih mengundang pertanyaan: dari manakah asal-usulnya? Menurut prediksi yang dikemukakan Hill, kecepatan setinggi 4000 km per detik bisa diraih ketika suatu bintang ganda terganggu saat berinteraksi dengan lubang hitam yang masif di pusat Galaksi. Yu dan Tremaine mengemukakan dua proses tambahan yang melontarkan HVS selain runtuhnya gaya pasang-surut bintang ganda akibat gangguan lubang hitam. Kedua proses tersebut adalah hampir bersinggungannya dua bintang tunggal dan interaksi tiga-benda antara sebuah bintang dan sepasang lubang hitam.

ESO
Visualisasi sebuah bintang terlontar dari Awan Magellan Besar (Large Magellanic Cloud atau LMC) - sumber: ESO

Nah, rupanya para peneliti sudah menyibak misteri asal HVS ini. Dalam laporan yang akan segera dipublikasikan oleh Astrophysical Journal Letters astronom Carnegie Institution, Alceste Bonanos dan Mercedes López-Morales, beserta rekan mereka dari Queen’s University Belfast, Ian Hunter dan Robert Ryan, menyimpukan bahwa HE 0437-5439 berasal dari galaksi Awan Magellan Besar (Large Magellanic Cloud atau LMC). Bintang tersebut dilontarkan oleh galaksi tetangga kita ini. Kesimpulan ini diperoleh setelah mengkaji kecepatan, intensitas cahaya – dan untuk pertama kalinya – komposisi kimianya, secara lebih teliti.

Dari sepuluh HVS yang ditemukan sejauh ini, HE 0437-5439 berbeda. Kelas spektrum, kelajuan, dan umur mereka konsisten dengan teori bahwa mereka dilontarkan dari pusat Galaksi. Kita tahu bahwa pusat Galaksi dihuni lubang hitam supermasif. Jika dilihat dari komposisi kimianya, bintang HE 0437-5439 juga menunjukkan bahwa bintang ini berasal dari pusat Galaksi kita. Hanya saja ini tidak masuk akal, sebab bintang tersebut mestinya memerlukan waktu 100 juta tahun untuk mencapai lokasinya yang sekarang, sementara umur HE 0437-5439 hanya 35 juta tahun.

Untuk menjelaskan paradoks umur ini, mereka berpendapat bahwa bintang ini termasuk blue straggler – bintang muda dan masif hasil merger dua bintang bermassa rendah di Galaksi kita. Kemungkinan lain adalah berasal dari LMC. Bintang-bintang di LMC diketahui memiliki kelimpahan unsur yang lebih rendah dibandingkan dengan kebanyakan bintang di Galaksi kita, sehingga kita bisa menentukan apakah suatu bintang termasuk anggota Galaksi kita atau LMC.

HE 0437-5439 bermassa sekitar 9 kali massa Matahari serta menjauhi Bima Sakti dan LMC menuju ruang antargalaksi dengan kecepatan 2.6 km per jam. Ditilik dari laju rotasinya, bintang ini berasal dari sistem bintang ganda. Pasangan bintang ganda ini mungkin pernah lewat dekat dengan lubang hitam yang massanya 1000 kali massa Matahari. Ketika salah satu bintang tertarik oleh lubang hitam, pasangannya lepas dari galaksi asalnya. Penemuan ini menjadi petunjuk pertama bahwa suatu lubang hitam masif ada di suatu tempat di LMC. Kita tunggu saja di mana lubang hitam itu rupanya berada.

Sumber:
Carnegie Institution for Science
Astrophysical Journal, vol. 634, hal. 181


By Ratna Satyaningsih • Jan 29th, 2008 at 5:27 pm
(2005)http://langitselatan.com/2008/01/29/bintang-yang-super-cepat-ternyata-bukan-anggota-bima-sakti/

Planet Empat Matahari

No 12 SEPTEMBER 2007 TAHUN XVII
Teknologi & Informasi

Sistem Tata Surya Baru: Planet Empat Matahari

Wahana teleskop antariksa Spitzer menemukan sistem Tata Surya dengan empat bintang induk di Rasi TW Hydrae, yang berjarak sekitar 150 tahun cahaya. Kedua pasang bintang gandanya saling mengitari satu terhadap yang lainnya bak pasangan penari balet.

Penulis: Ninok Leksono/Angkasa

Selain tertarik terhadap obyek-obyek langit yang amat jauh, terkait dengan bidang kosmologi, para astronom tampaknya terus punya perhatian besar terhadap Tata Surya - Sistem di mana planet-planet termasuk Bumi berevolusi mengelilingi Matahari. Tata Surya yang kini telah berumur sekitar lima miliar tahun rupanya masih banyak menyimpan misteri yang masih perlu untuk dieksplorasi.

Oleh sebab itu misi tak berawak pun terus dikirim untuk mendapatkan informasi baru mengenai keplanetan dan komponen-komponen Tata Surya lainnya. Antara lain, ini diwujudkan dengan pengiriman misi New Horizon ke Planet Pluto Januari 2006.

Sementara penyelidikan terus dilakukan untuk planet-planet di Tata Surya, berbagai penemuan baru juga terus bermunculan dalam penyelidikan planet di luar Tata Surya, atau yang lebih dikenal sebagai eksoplanet. Salah satu planet ini - Gliese 581 - disebut sebagai Bumi Super (ukuran besar), karena berbagai parameternya memperlihatkan planet ini layak huni.

Matahari banyak
Dalam tulisannya di Kompas (8 Desember 2006) alumnus astronomi Taufiq menyinggung tata surya dengan matahari lebih dari satu. Salah satu contohnya adalah tata-surya dengan tiga bintang seperti yang ada pada bintang HD188753 yang berada di Rasi Angsa (Cygnus). Pada sistem yang berjarak 149 tahun cahaya (1 tahun cahaya = 9.500 miliar km), bintang utama dikitari oleh dua bintang lain berukuran lebih kecil. Di luar itu masih ada sebuah planet gas berukuran lebih besar dari Yupiter mengorbit lebih dekat ke bintang induk dengan periode orbit 3,5 hari.

Pada sistem yang lain, ada pula planet yang ditemukan pada bintang ganda. Misalnya saja bintang ganda Gamma Cephei. Bintang utamanya yang bermassa 1,6 massa Matahari punya sebuah planet dengan massa 1,76 kali Yupiter yang mengorbit sejauh jarak Matahari-Mars (1,5 AU (Astronomical Unit) 1 AU = 150 juta km), dan punya bintang partner yang berukuran lebih kecil pada jarak sejauh Matahari-Uranus (19,2 AU).

Belum lama ini wahana teleskop antariksa Spitzer menemukan sistem yang memiliki empat bintang induk seperti tampak dalam ilustrasi pendamping tulisan ini.

Spitzer dengan peralatan inframerahnya telah diarahkan untuk meneliti piringan debu yang mengelilingi sistem empat bintang HD 98800. Piringan debu tersebut dipercayai bisa melahirkan planet. Dan memang dengan mengamati piringan di sistem bintang ini para astronom mendapati piringan tersebut tidak rata kontinu, tetapi sudah memperlihatkan celah yang seperti menyiratkan adanya planet yang sudah terbentuk.
Planet berperilaku seperti pembersih vakum kosmik. Ia menyerap semua kotoran yang ada di jalur lintasannya, ujar Elise Furlan dari Institut Astrobiologi di Universitas California di Los Angeles seperti diberitakan situs PhysOrg.com. Furlan merupakan penulis utama laporan yang disetujui penerbitannya oleh The Astrophysical Journal.

HD 98800 diperkirakan berumur 10 juta tahun, dan berada di Rasi TW Hydrae yang berjarak 150 tahun cahaya. Sebelum diteliti oleh Spitzer, astronom telah memiliki sejumlah informasi mengenai bintang ini dari pengamatan teleskop darat. Mereka sudah mengetahui, bahwa sistem ini punya empat bintang, dan keempat bintang yang ada berpasang-pasangan dalam sistem dua bintang (doublet, atau binary).

Bintang-bintang dalam sistem bintang ganda mengorbit satu terhadap yang lain, demikian pula dua pasang bintang ganda tersebut juga saling mengitari satu terhadap yang lain sebagaimana pasangan-pasangan penari balet. Salah satu pasangan bintang - yang disebut HD 98800B - memiliki piringan debu di sekelilingnnya, sementara pasangan satunya tidak.

Seperti dilaporkan oleh NASA, keempat bintang saling terikat oleh gravitasi dan jarak antara kedua pasang bintang tersebut adalah sekitar 50 AU, atau sedikit lebih jauh dibandingkan jarak Matahari - Pluto yang sekitar 40 AU. Karena masih terkendala teknologi, maka para astronom sebelum ini tidak dapat menyelidiki piringan debu di sekitar pasangan bintang HD98800B dengan detil.

Jasa Spitzer
Dengan teleskop Spitzer lah akhirnya astronom bisa melihat piringan tersebut dengan rinci. Dengan menggunakan spektrometer inframerah, tim Furlan bisa mendeteksi adanya dua sabuk dalam piringan debu yang terbuat dari butir debu berukuran besar. Satu sabuk berada sekitar 5,9AU dari bintang ganda HD98800B, atau pada jarak sekitar Matahari - Yupiter. Sabuk ini kemungkinan besar tersusun dari asteroid atau komet.

Sementara sabuk lain ada pada jarak 1,5 AU sampai 2,5AU, sebanding dengan letak planet Mars dan asteroid, dan kemungkinan besar tersusun dari bulir halus.
Umumnya kalau ada ruang kosong (gap) di piringan debu, astronom lalu bercuriga ada sebuah planet yang telah mengosongkan lintasan tersebut. Hanya saja, astronom belum terlalu yakin mengenai adanya planet di sistem HD 98800B.

Para astronom mempercayai, bahwa planet-planet terbentuk dalam kurun jutaan tahun, setelah butir debu kecil saling bergabung membentuk benda lebih besar. Dalam kasus tertentu, batuan-batuan kosmik saling bertumbukan untuk membentuk planet batuan seperti Bumi, sedang dalam kasus lain membentuk planet gas seperti Yupiter. Sementara itu, batuan-batuan besar yang tidak membentuk planet menjadi asteroid dan komet.

Ketika struktur-struktur batu tersebut bertumbukan dengan dahsyat, serpihan debu terlontar ke angkasa, dan ini terlihat oleh mata inframerah Spitzer yang sangat sensitif.
Menurut Furlan, debu yang ditimbulkan oleh tumbukan obyek-obyek berbatu di sabuk luar semestinya akan pindah ke piringan debu di dalam. Hanya saja dalam kasus HD98800B, partikel debu tidak mengisi piringan dalam seperti diharapkan. Boleh jadi hal ini disebabkan oleh adanya planet atau oleh pasangan bintang lain yang tidak punya piringan debu tapi gravitasinya mempengaruhi gerakan partikel debu.

Karena bintang-bintang muda banyak yang berkembang menjadi sistem majemuk, maka para astronom perlu menyadari, bahwa evolusi piringan debu di sekitar bintang-bintang muda tipe itu dan pembentukan sistem keplanetan yang ada bisa jauh lebih rumit dibandingkan sistem bintang tunggal seperti Tata Surya kita, tambah Furlan.
Tapi di luar kerumitan memperhitungkan proses kelahiran tata surya semacam itu, membayangkan hidup di sebuah planet dengan matahari empat melahirkan sensasi tersendiri. (*)

http://www.angkasa-online.com/public/print/17/12/187.htm

NASA Incar Asteroid Raksasa

Minggu, 08/07/2007
Wahana tak berawak Dawn akan mengorbiti asteroid Vesta pada Oktober 2011 dan Ceres pada Februari 2015.Dawn akan menjelajahi antariksa selama delapan tahun tanpa ada rencana kembali ke Bumi.Badan antariksa AS NASA akan segera meluncurkan wahana tak berawak Dawn.Wahana tersebut akan terbang menuju asteroid Ceres dan Vesta yang terletak di antara Mars dan Yupiter. Misi Dawn berupaya menguak misteri pembentukan tata surya pada 4,6 miliar silam.

NASA menilai, Ceres dan Vesta merupakan model ideal untuk mempelajari pembentukan sistem tata surya.Dengan mempelajari Ceres dan Vesta, NASA berharap mampu memahami elemen-elemen pembentuk planet dan bagaimana planet bisa memiliki jalur orbit berbeda.

”Kami ingin mengetahui bagaimana penampilan para leluhur kita. Asteroid-asteroid tersebut menarik karena memiliki banyak kemiripan dengan Bumi,” tutur kepala misi Dawn Christopher Russell, profesor geofisika dan fisika antariksa University of California. Dirancang untuk menjelajahi antariksa tanpa dapat pulang kembali, wahana Dawn memiliki panjang 1,64 meter dan lebar 1,27 meter ketika sistem panel surya pengisi daya berada dalam keadaan terlipat.

Dawn ”dipersenjatai” sebuah kamera definisi tinggi dan dua spektrometer untuk mengamati dua asteroid raksasa Ceres dan Vesta. Hasil pemantauan Dawn kemudian dikirimkan ke Bumi untuk diteliti oleh para ahli. Ditemukan pada 1801,Ceres adalah asteroid raksasa berbentuk bulat. Asteroid tersebut memiliki diameter sekitar 960 km. Para ilmuwan yakin, Ceres memiliki permukaan berlapis es tebal. Inti Ceres diperkirakan berupa karang padat.

Pada 2006, Serikat Astronomi Internasional (IAU) menga-tegorikan Ceres sebagai dwarf planet (definisi baru untuk menggambarkan asteroid dalam tata surya). Ceres dikategorikan sebagai dwarf planet karena tidak memiliki ukuran cukup besar untuk disebut sebagai planet. Dwarf planet lain yang populer adalah Pluto. Karena menganggap Pluto tidak memiliki karakteristik planet, pada Agustus 2006 IAU mencabut predikat Pluto sebagai planet.

Dwarf planet terbesar yang diketahui pada saat ini adalah Eris yang ditemukan pada 2005. Para astronom menilai, Eris memiliki massa 27% lebih besar daripada Pluto,yang ditemukan pada 1930. Eris diperkirakan memiliki dimensi separuh Bulan yang mengelilingi Bumi. Asteroid lain yang akan dipelajari Dawn adalah Vesta. Ditemukan pada 1807, Vesta memiliki dimensi lebih kecil daripada Ceres. Namun,Vesta adalah asteroid terbesar ketiga dalam sistem tata surya.

Memiliki diameter 520 km, Vesta diperkirakan memiliki permukaan berkarang-karang. Vesta diperkirakan sama sekali tidak pernah memiliki air dan inti planet tersebut adalah magma panas. Namun,Vesta menarik perhatian para ilmuwan karena asteroid tersebut memiliki kawah sangat besar di kutub selatannya. Kawah itu memiliki lebar 460 km dan kedalaman 13 km.

Para ilmuwan menduga, kawah tersebut adalah hasil benturan raksasa. Para ilmuwan memperkirakan, 5% dari meteor yang ditemukan di Bumi merupakan serpihan-serpihan Vesta akibat benturan tersebut. Misi Dawn dijadwalkan memakan waktu delapan tahun. Dawn diperkirakan mampu mengorbiti Vesta pada Oktober 2011 dan menuju Ceres pada Mei 2012. Dawn diperkirakan akan mampu mengorbiti Ceres pada Februari 2015.

Untuk menuju Ceres,Dawn diperkirakan harus menempuh jarak 5,1 miliar km. Untuk menempuh perjalanan sepanjang itu, Dawn dilengkapi mesin propulsi ion inovatif. Mesin itu relatif hemat bahan bakar karena hanya berakselerasi secara bertahap.Mesin Dawn menggunakan arus listrik untuk mengakselerasi ion dari bahan bakar xenon. NASA mengungkapkan,misi Dawn diperkirakan memakan biaya USD450 juta (Rp4,1 triliun).

Dawn adalah misi tidak berawak kesembilan dari sepuluh misi program Discovery. Fokus misi Discovery sebagian besar adalah asteroid. Dawn dijadwalkan melesat ke angkasa pada Senin sekitar pukul 03.00 WIB dengan menumpang roket Delta II dari pangkalan udara AS Cape Canaveral, Florida. (AP/AFP/ahmad fauzi)

Berburu Tata Surya Lain di Bima Sakti

Judhistira Aria Utama

HINGGA SAAT ini, komunitas astronomi mencari planet-planet luar surya telah menemukan 100 bintang-bintang yang mirip Matahari. Dalam sistem-sistem keplanetan tersebut, 12 di antaranya merupakan sistem majemuk, yaitu sebuah bintang dengan lebih dari satu buah planet sebagai pengiring, seperti halnya tata surya. <>

SUDAH sejak lama astronom meyakini kehadiran planet dan tata surya lain di jagat raya. Tahun 1992, astronom Alexander Wolszczan mengumumkan temuan berupa sistem keplanetan pertama di luar tata surya, yaitu sistem Pulsar yang disebut PSR 1257+12 pada jarak 1630 tahun cahaya. Satu tahun cahaya setara dengan 9,5 triliun kilometer. Sistem itu memiliki dua planet yang masing-masing bermassa 2,8 dan 3,4 kali massa Bumi (6 x 1.024 kilogram), dengan tambahan dua planet lagi melalui penemuan berikutnya.

Pulsar adalah bintang yang telah mati dan merupakan akhir dari bintang bermassa besar, 8-20 kali massa Matahari. Dalam penulisan biasa disingkat PSR dan diikuti koordinat langitnya.

Tiga tahun setelah penemuan Wolszczan, Oktober 1995, Mayor dan Queloz mengumumkan kerja tim mereka tentang kehadiran sebuah planet yang mengorbit bintang setipe Matahari, yakni bintang 51 Pegasi di arah rasi Pegasus jarak 45 tahun cahaya dari Bumi.

Karena planet mengitari bintang induk yang mirip Matahari, temuan ini mengundang perdebatan pa

Geometri orbit

Skema matematis yang menggambarkan gerak planet-planet di tata surya dalam orbit lingkaran telah dibuat oleh Hipparchus (2 SM), yang kemudian diperbaiki oleh Ptolomeus.

Johannes Kepler (1571-1630) berhasil menyederhanakan teori tentang pergerakan planet dengan memanfaatkan data-data observasi yang ditinggalkan Tycho Brahe, astronom kelahiran Denmark yang menjadi matematikawan kaisar Romawi Rudolph II.

Setelah berjuang delapan tahun, astronom Jerman ini menyimpulkan bahwa planet-planet bergerak dalam orbit elips dengan laju berubah-ubah.

Menurut Kepler, gerak planet-planet mengitari Matahari tidak harus berbentuk lingkaran seperti yang dibayangkan sebelumnya. Semua orbit planet di tata surya berbentuk elips dengan eksentrisitas atau ukuran kelonjongan yang berbeda-beda. Planet-planet bergerak sepanjang keliling elips atas pengaruh gravitasi Matahari. Sekarang diketahui bahwa orbit semua benda langit mengikuti bentuk kurva irisan kerucut, yaitu elips, parabola, hiperbola, atau lingkaran.

Sebagian besar extrasolar planets atau planet-planet luar-tata surya berhasil ditemukan dengan teknik kecepatan radial yang memanfaatkan efek Doppler pada gelombang cahaya. Dengan dukungan teknologi saat ini astronom mampu mengukur kecepatan radial bintang sampai ketelitian tiga meter per detik atau setara dengan kecepatan kayuhan sepeda! Sayangnya, dengan teknik ini hanya massa minimum planet yang dapat ditentukan.

Pembentukan planet

Teori pembentukan planet menyatakan bahwa gumpalan awan gas dan debu cikal-bakal tata surya pada lima miliar tahun lalu, mengalami pemampatan sehingga partikel-partikel di dalamnya tertarik ke arah pusat, membentuk gumpalan dan mulai berpilin.

Lambat laun gumpalan awan memipih dengan bagian tengah lebih tebal dan bergerak lebih lambat daripada bagian tepi yang lebih tipis. Partikel di bagian tengah yang lebih padat saling bertumbukan sehingga menimbulkan panas dan mulai berpijar.

Bagian pusat yang memijar inilah yang akan menjadi Matahari. Bagian tepi cakram yang berputar lebih cepat akan tercerai menjadi gumpalan-gumpalan yang lebih kecil yang juga berpilin. Bagian inilah yang setelah membeku akan menjadi planet-planet dan satelit-satelitnya.

Model konvensional di atas sejauh ini dapat menerangkan dengan baik material cakram yang mengorbit dalam lintasan sirkuler dalam arah yang seragam dan di bidang yang sama, seperti yang teramati pada planet-planet di tata surya. Atas dasar teori tersebut, planet tidak dapat terbentuk bila terlampau dekat dengan bintang induk, mengingat terlalu tingginya temperatur memadatkan material. Planet tidak dapat terbentuk terlalu jauh karena ketersediaan material yang semakin tipis karena semakin jauh dari pusat cakram.

Dalam tata surya, hampir semua planet berada dalam orbit yang dekat dengan bentuk lingkaran, yaitu dengan harga eksentrisitas kurang dari 0,1. Orbit planet dengan eksentrisitas bernilai 0 memiliki bentuk lingkaran. Semakin besar nilai eksentrisitas (nilainya semakin mendekati 1), semakin lonjong orbit elips yang terbentuk.

Dari kesembilan planet dalam keluarga Matahari ada tiga planet, yaitu Pluto, Merkurius, dan Mars yang berada dalam orbit lonjong dengan eksentrisitas 0,1-0,25. Bandingkan dengan harga eksentrisitas orbit yang dimiliki planet-planet luar-tata surya seperti Epsilon Eridani b (eksentrisitas= 0,61), 16 Cygni B b (eksentrisitas=0,67), HD 89744 b (eksentrisitas=0,7), dan HD 80606 b (eksentrisitas=0,93).

Beberapa teori telah dibuat astronom guna menjelaskan fenomena orbit dengan kelonjongan besar tersebut, salah satunya dengan menyertakan gangguan gravitasi yang dialami oleh planet-planet raksasa yang terletak berdekatan. Menurut teori ini, seandainya materi awal pembentuk tata surya memiliki massa yang lebih besar, keempat planet raksasa (Yupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus) akan berukuran jauh lebih besar dari sekarang. Dengan kata lain, tata surya kita akan memiliki empat buah "planet super" yang saling berinteraksi satu sama lain dan mengakibatkan timbulnya gangguan pada orbit masing-masing.

Di bawah pengaruh gravitasi bersama tersebut, akan ada planet yang orbitnya terdorong lebih "ke dalam" mendekati Matahari, bergeser menjauh, dan boleh jadi akan ada yang terlempar keluar dari sistem menjadi planet lepas. Planet-planet raksasa yang terlempar dari orbit asalnya tersebut selanjutnya dapat berada dalam orbit yang eksentrik (lonjong).

Meskipun demikian, fakta berupa kehadiran planet-planet raksasa yang justru memiliki orbit lingkaran di dekat bintang induknya, seperti dijumpai pada sistem 51 Pegasi, masih menjadi teka-teki yang belum sepenuhnya terjawab.

Daya dukung kehidupan

Berpedoman pada pengetahuan tentang bentuk kehidupan yang sudah dikenal, maka manusia tidak dapat menyandarkan harapan menjumpai suatu bentuk kehidupan di planet-planet gas raksasa yang telah berhasil dideteksi.

Bias pada pendeteksian extrasolar planets, yang hanya menunjukkan keberadaan planet-planet gas pada jarak yang dekat dengan bintang induknya, telah mendorong para ilmuwan mengembangkan teknik lain dalam upaya pencarian "planet-planet padat dan kecil" seperti Bumi.

Ada banyak program observasi yang dicanangkan, baik landas Bumi maupun luar angkasa. Di antaranya adalah program luar angkasa DARWIN milik badan antariksa Eropa, ESA (European Space Agency), yang akan diluncurkan setelah tahun 2009 guna mendeteksi planet-planet seukuran Bumi sekaligus menyelidiki kemungkinan adanya atmosfer yang menyelimuti.

Hingga kini studi atas situs-situs yang memiliki daya dukung bagi kehidupan masih terus dikembangkan. Habitable zone atau daerah hunian bagi suatu bentuk kehidupan telah merambah pula ke satelit-satelit yang dimiliki oleh planet-planet raksasa luar-tata surya tersebut.

Umat manusia memang masih harus bersabar untuk dapat menemukan daerah kehidupan lain di alam raya. Apa pun bentuk kehidupan yang bakal ditemui, temuan tersebut akan menjadi pencapaian monumental sejarah kemanusiaan. Apa yang diimpikan Epicurus lebih dari 2.000 tahun lalu bahwa ada tak terhingga banyaknya "dunia", baik yang serupa maupun tidak dengan "dunia" kita sendiri, akan terjawab sudah melalui serangkaian penemuan sistem keplanetan di luar tata surya.

Judhistira Aria Utama Alumnus Departemen Astronomi ITB, anggota Himpunan Astronom Amatir Bandung (HAAB)

Sumber : Kompas (1 Agustus 2003)