Jumat, 21 Maret 2008

Berburu Tata Surya Lain di Bima Sakti

Judhistira Aria Utama

HINGGA SAAT ini, komunitas astronomi mencari planet-planet luar surya telah menemukan 100 bintang-bintang yang mirip Matahari. Dalam sistem-sistem keplanetan tersebut, 12 di antaranya merupakan sistem majemuk, yaitu sebuah bintang dengan lebih dari satu buah planet sebagai pengiring, seperti halnya tata surya. <>

SUDAH sejak lama astronom meyakini kehadiran planet dan tata surya lain di jagat raya. Tahun 1992, astronom Alexander Wolszczan mengumumkan temuan berupa sistem keplanetan pertama di luar tata surya, yaitu sistem Pulsar yang disebut PSR 1257+12 pada jarak 1630 tahun cahaya. Satu tahun cahaya setara dengan 9,5 triliun kilometer. Sistem itu memiliki dua planet yang masing-masing bermassa 2,8 dan 3,4 kali massa Bumi (6 x 1.024 kilogram), dengan tambahan dua planet lagi melalui penemuan berikutnya.

Pulsar adalah bintang yang telah mati dan merupakan akhir dari bintang bermassa besar, 8-20 kali massa Matahari. Dalam penulisan biasa disingkat PSR dan diikuti koordinat langitnya.

Tiga tahun setelah penemuan Wolszczan, Oktober 1995, Mayor dan Queloz mengumumkan kerja tim mereka tentang kehadiran sebuah planet yang mengorbit bintang setipe Matahari, yakni bintang 51 Pegasi di arah rasi Pegasus jarak 45 tahun cahaya dari Bumi.

Karena planet mengitari bintang induk yang mirip Matahari, temuan ini mengundang perdebatan pa

Geometri orbit

Skema matematis yang menggambarkan gerak planet-planet di tata surya dalam orbit lingkaran telah dibuat oleh Hipparchus (2 SM), yang kemudian diperbaiki oleh Ptolomeus.

Johannes Kepler (1571-1630) berhasil menyederhanakan teori tentang pergerakan planet dengan memanfaatkan data-data observasi yang ditinggalkan Tycho Brahe, astronom kelahiran Denmark yang menjadi matematikawan kaisar Romawi Rudolph II.

Setelah berjuang delapan tahun, astronom Jerman ini menyimpulkan bahwa planet-planet bergerak dalam orbit elips dengan laju berubah-ubah.

Menurut Kepler, gerak planet-planet mengitari Matahari tidak harus berbentuk lingkaran seperti yang dibayangkan sebelumnya. Semua orbit planet di tata surya berbentuk elips dengan eksentrisitas atau ukuran kelonjongan yang berbeda-beda. Planet-planet bergerak sepanjang keliling elips atas pengaruh gravitasi Matahari. Sekarang diketahui bahwa orbit semua benda langit mengikuti bentuk kurva irisan kerucut, yaitu elips, parabola, hiperbola, atau lingkaran.

Sebagian besar extrasolar planets atau planet-planet luar-tata surya berhasil ditemukan dengan teknik kecepatan radial yang memanfaatkan efek Doppler pada gelombang cahaya. Dengan dukungan teknologi saat ini astronom mampu mengukur kecepatan radial bintang sampai ketelitian tiga meter per detik atau setara dengan kecepatan kayuhan sepeda! Sayangnya, dengan teknik ini hanya massa minimum planet yang dapat ditentukan.

Pembentukan planet

Teori pembentukan planet menyatakan bahwa gumpalan awan gas dan debu cikal-bakal tata surya pada lima miliar tahun lalu, mengalami pemampatan sehingga partikel-partikel di dalamnya tertarik ke arah pusat, membentuk gumpalan dan mulai berpilin.

Lambat laun gumpalan awan memipih dengan bagian tengah lebih tebal dan bergerak lebih lambat daripada bagian tepi yang lebih tipis. Partikel di bagian tengah yang lebih padat saling bertumbukan sehingga menimbulkan panas dan mulai berpijar.

Bagian pusat yang memijar inilah yang akan menjadi Matahari. Bagian tepi cakram yang berputar lebih cepat akan tercerai menjadi gumpalan-gumpalan yang lebih kecil yang juga berpilin. Bagian inilah yang setelah membeku akan menjadi planet-planet dan satelit-satelitnya.

Model konvensional di atas sejauh ini dapat menerangkan dengan baik material cakram yang mengorbit dalam lintasan sirkuler dalam arah yang seragam dan di bidang yang sama, seperti yang teramati pada planet-planet di tata surya. Atas dasar teori tersebut, planet tidak dapat terbentuk bila terlampau dekat dengan bintang induk, mengingat terlalu tingginya temperatur memadatkan material. Planet tidak dapat terbentuk terlalu jauh karena ketersediaan material yang semakin tipis karena semakin jauh dari pusat cakram.

Dalam tata surya, hampir semua planet berada dalam orbit yang dekat dengan bentuk lingkaran, yaitu dengan harga eksentrisitas kurang dari 0,1. Orbit planet dengan eksentrisitas bernilai 0 memiliki bentuk lingkaran. Semakin besar nilai eksentrisitas (nilainya semakin mendekati 1), semakin lonjong orbit elips yang terbentuk.

Dari kesembilan planet dalam keluarga Matahari ada tiga planet, yaitu Pluto, Merkurius, dan Mars yang berada dalam orbit lonjong dengan eksentrisitas 0,1-0,25. Bandingkan dengan harga eksentrisitas orbit yang dimiliki planet-planet luar-tata surya seperti Epsilon Eridani b (eksentrisitas= 0,61), 16 Cygni B b (eksentrisitas=0,67), HD 89744 b (eksentrisitas=0,7), dan HD 80606 b (eksentrisitas=0,93).

Beberapa teori telah dibuat astronom guna menjelaskan fenomena orbit dengan kelonjongan besar tersebut, salah satunya dengan menyertakan gangguan gravitasi yang dialami oleh planet-planet raksasa yang terletak berdekatan. Menurut teori ini, seandainya materi awal pembentuk tata surya memiliki massa yang lebih besar, keempat planet raksasa (Yupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus) akan berukuran jauh lebih besar dari sekarang. Dengan kata lain, tata surya kita akan memiliki empat buah "planet super" yang saling berinteraksi satu sama lain dan mengakibatkan timbulnya gangguan pada orbit masing-masing.

Di bawah pengaruh gravitasi bersama tersebut, akan ada planet yang orbitnya terdorong lebih "ke dalam" mendekati Matahari, bergeser menjauh, dan boleh jadi akan ada yang terlempar keluar dari sistem menjadi planet lepas. Planet-planet raksasa yang terlempar dari orbit asalnya tersebut selanjutnya dapat berada dalam orbit yang eksentrik (lonjong).

Meskipun demikian, fakta berupa kehadiran planet-planet raksasa yang justru memiliki orbit lingkaran di dekat bintang induknya, seperti dijumpai pada sistem 51 Pegasi, masih menjadi teka-teki yang belum sepenuhnya terjawab.

Daya dukung kehidupan

Berpedoman pada pengetahuan tentang bentuk kehidupan yang sudah dikenal, maka manusia tidak dapat menyandarkan harapan menjumpai suatu bentuk kehidupan di planet-planet gas raksasa yang telah berhasil dideteksi.

Bias pada pendeteksian extrasolar planets, yang hanya menunjukkan keberadaan planet-planet gas pada jarak yang dekat dengan bintang induknya, telah mendorong para ilmuwan mengembangkan teknik lain dalam upaya pencarian "planet-planet padat dan kecil" seperti Bumi.

Ada banyak program observasi yang dicanangkan, baik landas Bumi maupun luar angkasa. Di antaranya adalah program luar angkasa DARWIN milik badan antariksa Eropa, ESA (European Space Agency), yang akan diluncurkan setelah tahun 2009 guna mendeteksi planet-planet seukuran Bumi sekaligus menyelidiki kemungkinan adanya atmosfer yang menyelimuti.

Hingga kini studi atas situs-situs yang memiliki daya dukung bagi kehidupan masih terus dikembangkan. Habitable zone atau daerah hunian bagi suatu bentuk kehidupan telah merambah pula ke satelit-satelit yang dimiliki oleh planet-planet raksasa luar-tata surya tersebut.

Umat manusia memang masih harus bersabar untuk dapat menemukan daerah kehidupan lain di alam raya. Apa pun bentuk kehidupan yang bakal ditemui, temuan tersebut akan menjadi pencapaian monumental sejarah kemanusiaan. Apa yang diimpikan Epicurus lebih dari 2.000 tahun lalu bahwa ada tak terhingga banyaknya "dunia", baik yang serupa maupun tidak dengan "dunia" kita sendiri, akan terjawab sudah melalui serangkaian penemuan sistem keplanetan di luar tata surya.

Judhistira Aria Utama Alumnus Departemen Astronomi ITB, anggota Himpunan Astronom Amatir Bandung (HAAB)

Sumber : Kompas (1 Agustus 2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar